Jumat, 20 September 2013

Biografi Saut Poltak Tambunan

Saut Poltak Tambunan, lahir di Balige, kota kecil pinggir Danau Toba, menikah dengan gadis Kawanua - Menado (Lenny Runturambi). Mungkin tidak laku untuk gadis Batak karena tidak bisa main gitar dan tidak suka catur. Punya anak 3 (1-2 perempuan, alumni di PR London School dan alumni FH Unpad, yang ke-3 laki-laki masih tahun I di FIKOM UNPAD).

Saut Poltak Tambunan, adalah penulis cerita pendek, novel, skenario, puisi, kolom, artikel. Mantan PNS, tahun 1981 mendirikan Yayasan Pengarang Indonesia AKSARA di Jakarta dan menjabat sebagai Ketua I dan sekaligus menjadi Ketua Yayasan Pengarang AKSARA hingga sekarang. (Oktober 2009 mendirikan Komunitas Kedailalang – Kedai Sastra Ide Kalimalang bersama Kurnia Effendi (KEF) dan teman-teman. Aktif menyelenggarakan workshop penulisan cerpen/novel dengan bukunya ’Kiat Sukses Menulis Novel’.
Saut menyelesaikan/menerbitkan puluhan novel, ratusan cerita pendek/artikel dan skenario film/sinetron. Beberapa novelnya menjadi bestseller pada dekade tahun 80-an, diangkat ke layar lebar dan belakangan menjadi sinetron. Antara lain, Hatiku Bukan Pualam (layar lebar), Jangan Ada Dusta (sinetron), Dia Ingin Anaknya Mati (Sinetron Mini Seri), Harga Diri (layar lebar) , Yang Perkasa (layar lebar), Jalur Bali (layar lebar). Beberapa novel masih dalam penulisan skenario untuk sinetron, yaitu Harga Diri, Kembalikan Anakku, Lia Nathalia, Permata Hati. Termasuk 3 kumpulan cerpen Rinai Cinta Seorang Sahabat (1985) Lanteung, (2004), Jangan Pergi, Jonggi (2005). Kumpulan cerpen ke-4 ’Tortor Orang Batak’ sedang dalam proses.
Sambil menjadi PNS ketika di Jakarta, sempat nyambi menjadi wartawan, editor dan penulis kolom ‘perilaku konsumen’ pada majalah Kartini termasuk ’penjaga gawang’ Departemen Buku Kartini. Juga sempat menjadi dosen pada Akademi Sekretaris Managemen Indonesia (ASMI) dan Akademi Maritim Indonesia (AMI) di Jakarta. Tahun 2008 menjadi co-writer dan editor untuk buku marketing managemen berjudul Launching.
Sumber : http://www.karyapuisi.com/2011/04/biografi-saut-poltak-tambunan.html#ixzz2fQgLSAjr

erani Meski Tak Benar
Sekolahku Sekolah Rakyat biasa di kaki bukit dekat Danau Toba,
di kelas dua kami masih saja belajar membaca dan pelajaran berhitung pun baru sampai di perkalian tiga
Belebas panjang beringas di tangan Encik Guru menyimpan ratusan sidik betis turun temurun sejak zaman Namboruku, membesut anak-anak kampung ke kursi tinggi empuk berlapis beledru
Kata Encik benderaku sang dwi warna merah putih perlambang berani karena benar,
setiap pagi dan siang kami hormat setegak bisa sambil menggegap Indonesia Raya dan Garuda Panca Sila (yang belakangan kutahu tak benar syairnya)*.
Encik guruku sudah tak ada. Masih kuingat pesannya merah putih lambang berani karena benar. Tetapi mengapa benderaku kini kian memerah putihnya? Mengapa di negeriku semakin banyak orang berani meski tak benar?
saut poltak tambunan
Jkt, 24 Jan 2010
* Ketika itu tak ada buku dan tak pernah melihat teks lagu Garuda Panca Sila yang sebenarnya, hanya meniru-nirukan bunyinya dari kakak kelas:
Garuda Panca Sila,
akulah pendukurmu
Patiroprop lamasi (menurut teman sebangku ‘tapilopot lamasi’)
Setia berkota untukmu
Panca Sila dasar negara
Rakyat adil makmur sentosa
Dibang dibangsaku
Ayo, maju, maju, ayo, maju, maju!

Ingkar
Ilalang
membakung
Gunung
hilang akar

Lelangit
runtuh
spt, 29 Nov 2009
GARUDA
Dalam temaram garudaku nelangsa
terjelapak jatuh di belakang gudang jemuran padi
lunglai lehernya terkulai
digelantung beban lambang-lambang besar
sementara gambar lainnya berebut posisi
di kepala
di mata
di dada
di paruh
di cakar
Dalam temaram gagahnya sirna
Perisai lama bergambar lima
telingsut lenyap entah di belahan dada mana
Tujuhbelas delapan empatlima
bulunya jadi umbul-umbul dan bendera
berkibar berkobar berwarna-warna
Dalam temaram garuda meradang tiba-tiba
mencakar mata sendiri
mematuk cakar sendiri
merobek dada sendiri
Dalam temaram garuda berteriak:
tak akan cucakrowo menggusur aku!
lalu diam
lalu diam
lalu  ...!?
November 2009
Masih, Meski Bukan yang Dulu
Risaukan apa lagi, kekasihku. Masih ada taman ini menjulurkan rindangnya untuk kita berteduh. Masih ada rumpun semak untuk kita sembunyi bercumbu. Masih ada kupu-kupu putih mungil melintas di atas kepala kita. Masih, meski semua itu bukan yang dulu.
Risaukan apa lagi, kekasihku. Masih ada langkah yang bisa kita ayun bersama, meski sedikit goyah terseret. Masih ada helai rambut yang harus kusibak di keningmu untuk dapat membisikkan suara dari hatiku, meski mulai memutih. Pendengaran kita mungkin mulai berkurang, tetapi kita selalu sudah mendengar sebelum kita mulai mengatakannya.
Risaukan apa lagi, kekasihku, aku selalu ada, meski semakin meski..
spt, mei 2009
KULO NIKI . . . . !

Saut Poltak Tambunan, lahir di Balige, kota kecil pinggir Danau Toba, menikah dengan gadis Kawanua - Menado (Lenny Runturambi). Mungkin tidak laku untuk gadis Batak karena tidak bisa main gitar dan tidak suka catur. Punya anak 3 (1-2 perempuan, alumni di PR London School dan alumni  FH Unpad, yang ke-3 laki-laki masih tahun I di FIKOM UNPAD).
Saut Poltak Tambunan, adalah penulis cerita pendek, novel, skenario, puisi, kolom, artikel. Mantan PNS, tahun 1981 mendirikan Yayasan Pengarang Indonesia AKSARA di Jakarta dan menjabat sebagai Ketua I dan sekaligus menjadi Ketua Yayasan Pengarang AKSARA hingga sekarang.  (Oktober 2009 mendirikan Komunitas Kedailalang – Kedai Sastra Ide Kalimalang bersama Kurnia Effendi (KEF) dan teman-teman. Aktif menyelenggarakan workshop penulisan cerpen/novel dengan bukunya ’Kiat Sukses Menulis Novel’.
Saut menyelesaikan/menerbitkan puluhan novel, ratusan cerita pendek/artikel  dan skenario film/sinetron. Beberapa novelnya menjadi bestseller pada dekade tahun 80-an, diangkat ke layar lebar dan belakangan menjadi sinetron. Antara lain, Hatiku Bukan Pualam (layar lebar), Jangan Ada Dusta (sinetron), Dia Ingin Anaknya Mati (Sinetron Mini Seri), Harga Diri (layar lebar) , Yang Perkasa (layar lebar), Jalur Bali (layar lebar). Beberapa novel masih dalam penulisan skenario untuk sinetron, yaitu Harga Diri, Kembalikan Anakku, Lia Nathalia, Permata Hati.
Termasuk 3 kumpulan cerpen  Rinai Cinta Seorang Sahabat (1985) Lanteung, (2004),  Jangan Pergi, Jonggi (2005). Kumpulan cerpen ke-4 ’Tortor Orang Batak’ sedang dalam proses.
Sambil menjadi PNS ketika di Jakarta, sempat nyambi  menjadi wartawan, editor dan penulis kolom ‘perilaku konsumen’  pada majalah Kartini termasuk ’penjaga gawang’ Departemen Buku Kartini. Juga sempat menjadi dosen pada Akademi Sekretaris Managemen Indonesia (ASMI) dan Akademi Maritim Indonesia (AMI) di Jakarta. Tahun 2008 menjadi co-writer dan editor untuk buku marketing managemen berjudul Launching.
Jakarta, 2010.

Selasa, 09 Juli 2013

WAYAN (JENGKI) SUNARTA


WAYAN SUNARTA alias Jengki, lahir di Denpasar, Bali, 22 Juni 1975. Belajar Antropologi Budaya di Fakultas Sastra Universitas Udayana. Sempat belajar seni lukis di ISI Denpasar. Mulai suka menulis puisi sejak awal 1990-an. Kemudian merambah ke penulisan prosa liris, cerpen, feature, esai/artikel seni budaya, kritik/ulasan seni rupa, dan novel.

Tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media massa lokal dan nasional, di antaranya Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Suara Pembaruan, The Jakarta Post, Jawa Post, Pikiran Rakyat, Bali Post, Jurnal Kebudayaan Kalam, Jurnal Cerpen Indonesia, Majalah Sastra Horison, Majalah Gong, Majalah Visual Arts, Majalah Arti.

Buku kumpulan cerpennya yang telah terbit adalah Cakra Punarbhawa (Gramedia, 2005), Purnama di Atas Pura (Grasindo, 2005), Perempuan yang Mengawini Keris (Jalasutra, 2011). Buku kumpulan puisinya yang telah terbit adalah Pada Lingkar Putingmu (bukupop, 2005), Impian Usai (Kubu Sastra, 2007), Malam Cinta (bukupop, 2007), Pekarangan Tubuhku (Bejana Bandung, Juni 2010).

Minggu, 07 Juli 2013

Ahmad Tohari


Ahmad Tohari
Ahmad Tohari dilahirkan di Banyumas, Jawa Tengah, 13 Juni 1948. Pernah bekerja sebagai redaktur majalah Keluarga dan Amanah. Karya-karyanya: Kubah (1980; memenangkan hadiah Yayasan Buku Utama 1980), Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), Jantera Bianglala (1986; meraih hadiah Yayasan Buku Utama 1986), Di Kaki Bukit Cibalak (1986; pemenang salah satu hadiah Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1979), Senyum Karyamin (1989), Bekisar Merah (1993), Kiai Sadrun Gugat (1995), Lingkar Tanah Lingkar Air (1995), Nyanyian Malam (2000). Novelis yang karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing ini adalah salah seorang alumnus International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat, dan pada 1985 dianugerahi SEA Write Award.

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, 20 Maret 1940. Puisi-puisi pengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia sejak 1975 dan pernah aktif sebagai redaktur majalah sastra-budaya Basis, Horison, Kalam, Tenggara (Malaysia) ini adalah: Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Perahu Kertas (1983; mendapat Hadiah sastra DKJ 1983), Sihir Hujan (1984; pemenang hadiah pertama Puisi Putera II Malaysia 1983), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1998), Ayat-ayat Api (2000). Sedangkan karya-karya sastra dunia yang diterjemahkannya: Lelaki Tua dan Laut (1973; Ernest Hemingway), Sepilihan Sajak George Seferis (1975), Puisi Klasik Cina (1976), Lirik Klasik Parsi (1977), Afrika yang Resah (1988; Okot p’Bitek).

Umar Kayam

Umar Kayam 

dilahirkan di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932. Meraih M.A. di Universitas New York (1963), dan Ph.D. dua tahun kemudian dari Universitas Cornell, Amerika Serikat. Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada hingga pensiunnya di tahun 1997 ini adalah anggota penyantun/penasehat majalah sastra Horison sebelum mengundurkan pada 1 September 1993. Pada 1987, ia meraih SEA Write Award. Karya-karyanya: Seribu Kunang-kunang di Manhattan (1972), Totok dan Toni (1975), Sri Sumarah dan Bawuk (1975), Seni, Tradisi, Masyarakat (1981), Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Bangsa (1985), Para Priyayi (1992; mendapat Hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P dan K 1995), Mangan Ora Mangan Kumpul (1990), Sugih Tanpa Banda (1994), Jalan Menikung (1999). Cerpen-cerpen-cerpennya diterjemahkan Harry Aveling dan diterbitkan dalam Sri Sumarah and Other Stories (1976) dan Armageddon (1976).

Danarto

Danarto

Danarto dilahirkan di Sragen, Jawa Tengah, 27 Juni 1940. Karya-karya penerima SEA Write Award 1988 ini adalah: Godlob (1975), Adam Ma`rifat (1982; meraih Hadiah Sastra Dewan Kesenian Jakarta dan Yayasan Buku Utama pada tahun yang sama), Berhala (1987; memenangkan hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K 1987), Orang Jawa Naik Haji (1984), Obrok Owok-owok, Ebrek Ewek-ewek (1976), Bel Geduwel Beh (1976), Gergasi (1993), Gerak-gerak Allah (1996), dan Asmaraloka (1999).

Abdul Hadi WM

Puis-Puisi Abdul Hadi WM

LAGU DALAM HUJAN

Merdunya dan merdunya
Suara hujan
Gempita pohon-pohonan
Menerima serakan
Sayap-sayap burung

Merdunya dan merdunya
Seakan busukan akar pohonan
Menggema dan segar kembali
Seakan busukan daungladiola
Menyanyi dalam langsai-langsai pelangi biru
Memintas-mintas cuaca

Merdunya dan merdunya
Nasib yang bergerak
Jiwa yang bertempur
Gempita bumi
Menerima hembusan
Sayap-sayap kata

Ya, seakan merdunya suara hujan
Yang telah menjadi kebiasaan alam
Bergerak atau bergolak dan bangkit
Berubah dan berpindah dalam pendaran warna-warni
Melintas dan melewat dalam dingin dan panas

Merdunya dan merdunya
Merdu yang tiada bosan-bosannya
Melulung dan tiada kembali
Seakan-akan memijar api


1970


AMSAL SEEKOR KUCING

Selalu tak dapat kulihat kau dengan jelas
Padahal aku tidak rabun dan kau tidak pula bercadar
Hanya setiap hal memang harus diwajarkan bagai semula:
Selera makan, gerak tangan, gaya percakapan, bayang-bayang kursi
Bahkan langkah-langkah kehidupan menuju mati

Biarlah kata-kataku ini dan apa yang dipercakapkan
bertemu bagai dua mulut yang lagi berciuman
Dan seperti seekor kucing yang mengintai mangsanya di dahan pohon
Menginginkan burung intaiannya bukan melulu kiasan

1975


LA CONDITION HUMAINE

Di dalam hutan nenek moyangku
Aku hanya sebatang pohon mangga
-- tidak berbuah tidak berdaun --
Ayahku berkata, “Tanah tempat kau tumbuh
Memang tak subur, nak!” sambil makan
buah-buahan dari pohon kakekku dengan lahapnya

Dan kadang malam-malam
tanpa sepengetahuan istriku
aku pun mencuri dan makan buah-buahan
dari pohon anakku yang belum masak

1975


LARUT MALAM, HAMBURG MUSIM PANAS

Laut tidur. Langit basah
Seakan dalam kolam awan berenang
Pada siapakah menyanyi gerimis malam ini
Dan angin masih saja berembus, walau sendiri

Dan kita hampir jauh berjalan:
Kita tak tahu ke mana pulang malam ini
Atau barangkali hanya dua pasang sepatu kita
Bergegas dalam kabut, topiku mengeluh
Lalu jatuh

Atau kata-kata yang tak pernah
sebebas tubuh

Ketika terbujur cakrawala itu kembali
dan kita serasa sampai, kita lupa
Gerimis terhenti antara sauh-sauh yang gemuruh
Di kamar kita berpelukan bagai dua rumah yang mau rubuh


1974


WINTER, IOWA 1974

langit sisik yang serbuk, matahari yang rabun
menarilah dari rambutnya yang putih beribu kupu-kupu
menarilah dan angin yang bising di hutan dan gurun-gurun
menarilah, riak sungai susut malam-malam ke dasar lubukku

1974


RAMA-RAMA

rama-rama, aku ingin rasamu yang hangat
meraba cahaya
terbanglah jangan ke bunga, tapi ke laut
menjelmalah kembang di karang

rama-rama, aku ingin rasamu yang hangat
di rambutmu jari-jari matahari yang dingin
kadang mengembuni mata, kadang pikiran
melimpahinya dengan salju dan hutan yang lebat

1974


DINI HARI MUSIM SEMI

Aku ingin bangun dini hari, melihat fajar putih
memecahkan kulit-kulit kerang yang tertutup --
Menjelang tidur kupahat sinar bulan yang letih itu
yang menyelinap dalam semak-semak salju terakhir
ninabobo yang menentramkan, kupahatkan padanya
sebelum matahari memasang kaca berkilauan

Tapi antara gelap dan terang, ada dan tiada
Waktu selalu melimpahi langit sepi dengan kabut dulu
lalu angin perlahan-lahan dan ribut memancarkan pagi
-- burung-burung hai ini, sedang musim dingin yang hanyut
masih abadi seperti hari kemarin yang mengiba
harus memakan beratus-ratus masa lampauku



BAYANG-BAYANG

Mungkin kau tak harus kabur, sela
bayang-bayangmu
yang menjauh dan menghindar
dari terang lampu

Ia selalu menjauh dan menghindar
dari terang lampu
Ia selalu mondar mandir
mencari-cari bentuk dan namanya
yang tak pernah ada

1974


DALAM GELAP

Dalam gelap bayang-bayang bertemu dengan jasadnya yang telah menunggu
di sebuah tempat
Mereka berbincang-bincang untuk mengalahkan tertang dan sepakat mengha-
dapi terang yang kurang baik perangainya
Karena itu dalam terang bayang-bayang selalu berobah-robah menggeser-geser
kan dirinya dan ruang untuk menipu terang
Dan jasad selalu siap melindungi bayang-bayangnya dari terang sambil mencip-
takan gelap dengan bayang-bayangnya dari sinar terang

1974


MAUT DAN WAKTU

Kata maut: Sesungguhnya akulah yang memperdayamu pergi mengembara sampai tak ingat rumah
menyusuri gurun-gurun dan lembah ke luarmasuk ruang-ruang kosong jagad raya mencari suara
merdu Nabi Daud yang kusembunyikan sejak berabad-abad lamanya

Tidak, jawab waktu, akulah yang justru memperdayamu sejak hari pertama Qabi kusuruh membujukmu
memberi umpan lezat yang tak pernah menge-nyangkan hingga kau pun tergiur ingin lagi dan
ingin lagi sampai gelisah dari zaman ke zaman mencari-cari nyawa Habil yang kau kira fana
mengembara ke pelosok-pelosok dunia bagaikan Don Kisot yang malang

1974



AKU BERIKAN

Aku berikan seutas rambut padamu untuk kenangan
tapi kau ingin merampas seluruh rambutku dari kepala
Ini musim panas atau bahkan tengah musim panas
langkahmu datang dan pergi antara ketokan jam yang berat

Mengapa jejak selalu nyaring menjelang sampai
daun-daun kering risik di pohon ingin berdentuman
ke air selokan yang deras
langkahmu datang dan pergi antara ketokan jam yang berat

Aku berikan sepotong jariku padamu untuk kaubakar
tapi kau ingin merampas seluruh tanganku dari lengan
Ini musim atau akhir musim panas aku tak tahu
Burung-burung kejang di udara terik seakan penatku padamu

Maka kujadikan hari esokku rumah
Tapi tak sampai rasanya hari iniku untuk berjumpa

1974
Abdul Hadi WM

Abdul Hadi WM dilahirkan di Sumenep, Madura, 24 Juni 1946. Antara 1967-83 pernah menjadi redaktur Gema Mahasiswa, Mahasiswa Indonesia, Budaya Jaya, Berita Buana, dan penerbit Balai Pustaka. Pada 1973-74 mengikuti International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat. Karya-karyanya: Riwayat (1967) Laut Belum Pasang (1971), Cermin (1975), Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975), Meditasi (1976; meraih hadiah Buku Puisi Terbaik Dewan Kesenian Jakarta 1976-77), Tergantung Pada Angin (1977), Anak Laut Anak Angin (1983; mengantarnya menerima penghargaan SEA Write Award 1985). Sejumlah sajaknya diterjemahkan Harry Aveling dan disertakan dalam antologi Arjuna in Meditation (1976). Karya-karya terjemahannya: Faus (Goethe), Rumi: Sufi dan Penyair (1985), Pesan dari Timur (1985; Mohammad Iqbal), Iqbal: Pemikir Sosial Islam dan Sajak-sajaknya (1986; bersama Djohan Effendi), Kumpulan Sajak Iqbal: Pesan kepada Bangsa-bangsa Timur (1985), Kehancuran dan Kebangunan: Kumpulan Puisi Jepang (1987). Kumpulan esainya, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber diluncurkan pada 1999, dua puluh tahun setelah ia menerima Anugerah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Tuhhan Kita Begitu Dekat adalah buku kumpulan puisinya yang populair.